Untuk kalian para Diallogos yang
sudah lama tak tersapa
Sudah rindu kah?
Kalau belum ayo merindu, biar rindu
ini terjawab “Iya”.
12 Februari lalu, masih di 2020. Entah
mengapa kebaikan yang satu ini ingin sebanyak-banyaknya selalu dikenang. Ingin rasanya
untuk dibagikan. Iya, agar kalian semua tahu, kalau masih ada kebaikan yang
seperti itu.
Oke,
Kejadiannya diawali dari sore hari
sekitar pukul 16.00 lewat, cuacanya cerah waktu itu, karena tidak hujan. Atau malah
gerimis ya? Ah anggap saja tidak. Bersama seseorang yang tersebut teman
seperjuangan dan dia perempuan. Kami memutuskan untuk pergi ke pasar, namanya
Pasar Bawah tempatnya masih di Bukittinggi. Kebanyakan orang ada juga
menyebutnya Pasar Banto, pokoknya ke Pasar deh.
Tujuannya adalah berbelanja
kebutuhan hidup seperti beras, sayuran, buah, jajanan, dan lauk pauk. Ah andainya
memang seindah yang tersebut. Tapi intinya kami butuh makan untuk melanjutkan
hidup dan butuh lebih untuk berjuang menyelesaikan tugas akhir sebagai
mahasiswa.
Jarak tempat tinggal dengan pasar
agaknya lumayan jauh, kalau jalan kaki sampai juga, namun capek. Duhh, mengeluh
saja bisanya...bukan, bukan begitu, karena berhubung hari sudah sore bolehlah kami
memutuskan untuk naik angkot kan. Bahkan jika hari masih pagi pun keputusan itu
tak akan diri sesali sih.
Oh iya, rasanya perlu kuberitahu
juga, untuk naik angkot dari kawasan Belakang Balok Itu biasanya ada mobil
berwarna merah dan bernomorkan 15 didepannya. Rutenya sepanjang perjalanan
hingga menuju tempat tujuan kami tadi, yaitu Pasar Bawah. Waktu itu isi
angkotnya tidak terlalu penuh, nyaris sepi hingga yang tersisa hanya kami berdua
sebagai penumpang dan bapak itu sebagai sopir.
Disanalah cerita itu dimulai.
Sang bapak dengan usianya yang
sudah tak muda, namun masih produktif untuk bekerja
Mengawali pembicaraan sederhana
dengan “masih kuliah? Kuliah dimana nak?”
Dijawablah pertanyaan itu
sebagaimana adanya. Hingga terciptalah dialog-dialog selanjutnya
Rincinya mungkin aku tak ingat,
tapi intinya tentang kehidupan. Kehidupan rantau, anak koss, perjuangan, kisah
itu sebagaimana juga terjadi padanya dan anaknya yang kini tengah berkuliah
juga di nagari orang.
Dihampir penghujung tujuan kami, sebagaimana
yang kusangka pasti akan ada pemandangan indah seperti ini. Apa itu? “tumpukan durian, semobil isinya durian,
orang makan durian, sejenis itulah”
dan sedihnya diri hanya melihat dan numpang lewat. Hari berganti hari terus
saja begitu.
Eitsss, perlukah diri ini ungkapkan
bahwa sudah lama rindu Durian dan ingin Durian, tapi belum pernah kesampaian. Karena
lalu, harganya masih mahal untuk ukuran yang terbilang tidak besar. Tapi ingin,
dan jadinya tertahan.
Karena ada begitu banyaknya
onggok-onggok Durian, diri pun bertanya dengan sang Bapak.
“Kira-kira berapa harga durian sekarang ya pak?”. Aihhh padahal
ada kata durian yang kecil waktu itu, tapi malu mau dibilang. Dan entah mengapa
juga waktu itu kutanyakan dengan sang Bapak, padahal bapak adalah Sopir bukan
penjual Durian.
Syiaaaatttttt....
Dengan segera bapak tetiba
memelankan laju angkotnya, kemudian menyapa penjual Durian yang ternyata
orangnya bapak kenali. Bapak penjual Durian pun langsung menyambut sapaan itu,
dan sekejap memberikan sebuah Durian kepada sang Bapak dengan meletakkannya
dalam angkot. Para penumpang pun tampak bahagia, padahal tidak dikasih Durian. Apalagi
sang Bapak yang diberi Durian? Ya senang
juga donggg... Bau Duriannya lagi harum, ada dimakan Tupai sedikit, yang kata
bapak sopir itu kalau Durian dimakan Tupai pasti enak, manis. Entah benar atau
tidak teori itu, diri juga tidak tahu. Yang pasti diri masih senang menyaksikan
sebuah Durian.
Dialog per dialog masih berlanjut
dengan sang Bapak, hingga akhirnya kami memutuskan berhenti dan turun lantaran
sudah sampai tujuan. Sang Bapak mengiyakan, tak lupa kami bayar dan Bapak
bilang “nanti pulangnya naik ini lagi
ya...” kami pun mengiyakan dengan tawa ringan. Sang bapak berlalu dengan
angkotnya menghantarkan penumpang lain ke tempat tujuan mereka masing-masing. Kami
pun melanjutkan aktivitas kami, membeli A kemudian B, hingga C, D dan E lalu
uang pun habis, tinggal tersisa untuk angkot selanjutnya. Jika sudah demikian,
mau bagaiamana lagi, ya harus kembali kan.
Lalu kami berjalan dengan tas
belanjaan masing-masing, menuju dan mencari angkot merah yang bertuliskan 15. Mengapa?
Karena ada salah satu rute yang dilalui itu dekat tempat tinggal kami. Sungguh,
diri sudah lelah menjelajah pasar sayur itu. Tak ada tenaga lebih untuk
menantikan angkot sang Bapak tadi, kepikiran saja tidak. Kemudian ibarat
kejutan, Terereng-terereng....kami menaiki angkot sang Bapak kembali. Sungguh tak
disangka, rupanya lama kami berbelanja sama dengan rute angkot itu satu
putaran. Kami pun tertawa, antara lucu dan berpikir kok bisa yaa. Ah rezeki
memang tidak kemana kan Diallogos?
Dialog perdialog mulai terbangun lagi, bahasannya masih semanis Durian itu. Manis katamu? Mencoba pun belum. Percayalah,
diri ini tahu dari penampakan dan baunya, meski kami sebenarnya cukup asing
akhir-akhir ini. 2 belokan lagi, mungkin dialog dan pertemuan ini akan segera
berakhir, karena tujuan untuk kembali kerumah “kontrakan” sudah dekat. Dengan hal
yang diri ini tak sangka-sangka, Bapak mengikhlaskan Duriannya.
Sang Bapak bilang “Bisa buka Durian sendiri?” meski tak
sering melakukannya tapi diri ini pernah. Terjawablah pertanyaan itu “bisa pak, sudah pernah sebelumnya”. Dan lagi,
terereng terereng... Sang Bapak mengkihlaskan Duriannya untuk diri, “MasyaAllah. Ini beneran pak?” ujar diri.
“iya beneran, rezekinya adek. Memang sudah
niat. Tadi kan bilang naik angkot ini lagi, dan beneran kan jadi naik angkot
ini lagi. Dan selama tadi ngobrol-ngobrol keinget sama anak yang jauh,
mungkin dia juga lagi pengen Durian. ” jawab sang Bapak. “MasyaAllah, terimakasih banyak bapak”
ucap diri yang tengah bahagia ini.
Bagaimana tidak, Diri yang sudah
merindu lama dengan Durian, atas kejadian itu pun senang bukan kepalang. Tampak
torehan senyum dari sang Bapak, dan diri pun jadi mesam-mesem juga. Terimakasih
sebanyak-banyaknya terimakasih itu diri ucapkan kepada sang Bapak. Pas kami
bertemu persimpangan, pertemuan itupun harus kembali berakhir, bapak pun
mengiyakan. Tak lupa diri ini ucapkan Syukur dan semoga Sang Bapak panjang
umur, sehat terus, dimudahkan rezekinya dan dijauhkan dari segala hal yang
buruk.
Rezeki itu datang memang atas izin
Allah, sesederhana itu kita pernah meminta, semewah itu Allah berikan. Kebaikan
sore waktu itu semoga Allah balas dengan kebaikan lainnya ya Pak.
Pak, sekali lagi terimakasih. Meski
sekarang Duriannya sudah habis bahkan kulitnya juga entah kemana, tapi untuk
ketahuilah bersama bahwa manisnya masih terasa sampai sekarang, baunya masih
semembahagiakan itu. Percayalah, kebaikan itu memang indah.
Salam hangat, Diallogi.
(Sani
Utami)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar